Articles

Kehadiran Indonesia di Laut China Selatan

Wilayah Laut China Selatan (LCS) menjadi tegang sejak China terus menguatkan klaim atas kepemilikan wilayah Sembilan Garis Putus-Putus (Nine-Dash Line) pada dua dekade awal abad 21 ini. Ketegangan di wilayah ini juga dipicu oleh pembangunan pulau buatan pada karang bebatuan laut di kawasan Kepulauan Spratly. Tindakan China tersebut lantas membuat 4 negara ASEAN (Malaysia, Filipina, Brunei dan Vietnam) ditambah Taiwan geram sehingga ketegangan tersebut lantas berubah menjadi sebuah konflik yang hingga kini belum terselesaikan. Negara-negara tersebut mengklaim bahwa apa yang diklaim pada Nine Dash Line itu juga sebagian merupakan teritori mereka.

Peta Nine Dash Line
Peta Nine Dash Line yang diklaim China di Laut China Selatan (Chung, 2016).

Berbeda dengan negara-negara tadi, Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, meski tidak pernah secara resmi mendeklarasikan diri larut dalam konflik LCS nyatanya juga menaruh sikap waspada atas segala sesuatu yang terjadi pada wilayah ini. Indonesia memiliki wilayah perbatasan yang mendekati kawasan konflik LCS, yaitu di sekitar Kepulauan Natuna. Terjadi beberapa kali insiden yang menyebabkan Indonesia tidak lepas dari ketegangan dengan China. Kejadian seperti ini di perairan Natuna telah marak terjadi sejak sekitar tahun 2010 (Panda, 2016) dan pada awal tahun 2016 ini insiden telah terjadi sebanyak tiga kali (Juwana, 2016). Yang terbaru barangkali adalah penangkapan Kapal Han Tan Cou 19038 oleh KRI Imam Bonjol yang terpergok bersama 11 kapal asing lainnya sedang menjarah ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia pada 17 Juni 2016 lalu.

Penangkapan ikan yang marak terjadi di wilayah Natuna pada akhirnya membuat pemerintah Indonesia geram juga. Sepekan setelah adanya kejadian penangkapan tadi, Presiden Indonesia, Joko ‘Jokowi’ Widodo lantas menggelar rapat beserta beberapa jajaran menterinya ‘langsung’ di atas geladak KRI Imam Bonjol di perairan Natuna. Meski Menko Polhukam, Luhut Pandjaitan menegaskan rapat tersebut bukan untuk unjuk kekuatan, kehadiran Jokowi di Natuna dapat menimbulkan pembacaan bahwa Indonesia sangat hirau terhadap isu keamanan dan perbatasan untuk menjawab insiden-insiden semacam penangkapan kapal China tadi.

Presiden Joko Widodo meninjau KRI Imam Bonjol 383 usai memimpin rapat rapat terbatas tentang Natuna di atas kapal perang tersebut saat berlayar di perairan Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (23/6).
Presiden Joko Widodo meninjau KRI Imam Bonjol 383 usai memimpin rapat rapat terbatas tentang Natuna di atas kapal perang tersebut saat berlayar di perairan Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (23/6). KRI Imam Bonjol adalah kapal yang digunakan Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) untuk menangkap kapal Cina yang diduga menangkap ikan di perairan Natuna beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Setpres-Krishadiyanto/aww/16.

Gerak langkah Indonesia untuk hadir di LCS kemudian terbaca juga. Pasca insiden di Natuna tadi, Indonesia kemudian menambahkan suntikan dana sebesar 8,1 triliun rupiah pada APBN Perubahan untuk dialokasikan pada anggaran pertahanan (Diela, 2016). Keadaan sulit ini terpaksa dilakukan Indonesia meski anggaran tahun 2016 pada bidang pertahanan pertama kalinya dikurangi sejak lima tahun terakhir (Parameswaran, 2015). Upaya ini lantas dimaksudkan agar Indonesia memiliki deterensi di wilayah perbatasan menjawab ketegangan di LCS yang kerap kali memaksa Indonesia untuk larut kedalamnya.

EDITORIAL-CARTOON-jokowi
Sebuah kartun editorial dari media Filipina merespon kunjungan Presiden Jokowi di Natuna (Manila Times, 2016).

Kehadiran Indonesia di LCS ini sebenarnya dilakukan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah Indonesia semata. Ini tidak dimaksudkan untuk sengaja masuk kedalam pusaran konflik LCS atau mengkonfrontasi China secara langsung. Bagi Indonesia, China adalah partner ekonomi yang penting. Sehingga segala upaya untuk menimbulkan permusuhan kepada China juga akan menimbulkan ekses buruk bagi Indonesia. Begitu pula di pihak China, meskipun dengan segala kekuatan yang ada China dapat dengan mudah mengonfrontasi Indonesia, hal itu tidak dilakukan karena akan menimbulkan resiko yang tidak kalah besar. Selain kehilangan partner ekonomi, China akan semakin dimusuhi oleh komunitas internasional mengingat agresivitasnya di LCS.

Jalur diplomatik dan penghormatan atas kedaulatan negara harus tetap dikedepankan oleh kedua negara meski terjadi protes berbalas. Pembiaran dan pembelaan atas penangkapan ikan di wilayah ZEE  negara lain merupakan suatu konfrontasi sebagian kedaulatan yang tidak pernah dibenarkan oleh hukum internasional. Menurut pasal 56 ayat 1 UNCLOS, hanya negara pantai pemilik ZEE yang berhak atas kedaulatan mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam di wilayah ZEE. Kebolehan penggunaan ZEE oleh negara lain secara bebas, yang kemudian dijelaskan pada pasal 58 ayat 1 UNCLOS, hanya sebatas pada navigasi pelayaran, penerbangan di atasnya dan peletakan kabel atau pipa bawah laut. Adapun penangkapan ikan di ZEE wilayah lain haruslah terlebih dahulu mendapatkan ijin dari negara pantai pemilik ZEE tersebut, itupun apabila terjadi surplus jika negara pantai tidak dapat memanen seluruh jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap seperti pada penjelasan pasal 62 ayat 2 UNCLOS.

Indonesia sendiri sebenarnya telah menerbitkan regulasi yang sejalan dengan hukum laut internasional. Semua itu termaktub dalam UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU Nomor 45 tahun 2009 yang merupakan perubahan/penambahan atas UU Perikanan tersebut, khususnya pasal 29 pada UU Nomor 31 Tahun 2004 yang secara implisit menyebutkan bahwa usaha perikanan boleh dilakukan oleh badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEE Indonesia dengan syarat pada pasal 30 ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah Indonesia yang menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha perikanan tersebut.

Mengenai dalil China bahwa nelayan mereka berada pada wilayah penangkapan ikan tradisional mereka, hal itu tidak pernah dikenal dalam istilah hukum laut internasional. Apa yang menjadi alasan suatu negara untuk menjustifikasi suatu perilaku dalam hubungan internasional haruslah sesuai dengan kebiasaan dan kaidah-kaidah internasional yang berlaku, tidak malah membuat klaim secara unilateral.

Dalam tindakannya, Indonesia telah berada para lintasan yang benar dan tepat. Kehadiran Indonesia di LCS –meski terkesan mengamankan posisinya sendiri– memiliki peranan penting sebagai penengah diantara para pihak yang berseteru. Apabila Indonesia malah masuk ke dalam pusaran konflik, maka tidak ada antidot dari dari dalam kawasan untuk menetralisir instabilitas di LCS, keadaan ini jika terjadi kemudian dapat dimanfaatkan oleh aktor pengganggu dari luar yang alih-alih membantu malah membuat kawasan semakin kacau.

Author: Agaton Kenshanahan

Referensi

Chung, C. P. (2016). Drawing the U-Shaped Line: China’s Claim in the South China Sea, 1946–1974. Modern China, 42(I), 38-72.

Diela, T. (2016, Juni 4). Indonesia Raises Defense Spending, Despite Budget Cuts, Following Natuna Incident. Retrieved from Jakarta Globe: http://jakartaglobe.beritasatu.com/business/indonesia-raises-defense-spending-despite-budget-cuts-natuna-incident/

Editorial. (2016, Juni 25). China Sea Issue. Retrieved from Manila Times: http://www.manilatimes.net/china-sea-issue/269749/

Juwana, H. (2016, Juni 24). Posisi Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Retrieved from Kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2016/06/24/09550091/Posisi.Indonesia.di.Laut.Tiongkok.Selatan?page=all

Panda, A. (2016, Mei 31). South China Sea: Indonesian Navy Fires at and Arrests Chinese Fishermen. Retrieved from The Diplomat: http://thediplomat.com/2016/05/south-china-sea-indonesian-navy-fires-at-and-arrests-chinese-fishermen/

Parameswaran, P. (2015, September 10). Why is Indonesia Set to Cut its Military Budget for 2016? Retrieved from The Diplomat: http://thediplomat.com/2015/09/why-is-indonesia-set-to-cut-its-military-budget-for-2016/

2 thoughts on “Kehadiran Indonesia di Laut China Selatan

  1. Artikel yang cukup baik dengan pembahasan yang baik pula. Mungkin diawal saya ingin memberitahu penulis bahwa anggaran pertahanan Indonesia dalam APBNP tahun ini justru meningkat, mungkin dapat dilihat lewat beberapa berita berikut:

    Indonesia Boosts Defense Spending to Protect South China Sea Territory
    http://www.breitbart.com/national-security/2016/06/28/indonesia-ups-defense-spending/

    http://www.straitstimes.com/asia/se-asia/bigger-defence-budget-for-jakarta

    http://www.reuters.com/article/us-indonesia-economy-budget-defence-idUSKCN0ZE113

    Saya tertarik dengan pendapat penulis bahwa “Kehadiran Indonesia di LCS ini sebenarnya dilakukan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah Indonesia semata. Ini tidak dimaksudkan untuk sengaja masuk kedalam pusaran konflik LCS atau mengkonfrontasi China secara langsung”. Dari kalimat tersebut, muncul pertanyaan dalam diri saya, kenapa Indonesia begitu tidak ingin mengakui atau bahkan bersikap ‘denial’ terhadap masalah di LCS? Kenapa kita tidak berani mengakui bahwa kita memang memiliki masalah dengan Tiongkok secara langsung? Belum lagi sikap pemerintah Indonesia terhadap LCS yang (lagi-lagi) bersikap reaktif, baru bertindak ketika sudah terjadi.

    Meskipun terlambat, saya mengapresiasi rencana pemerintah untuk meningkatkan ‘presence’-nya di Natuna dengan pembangunan infrastruktur ekonomi dan pertahanan walaupun dalam aspek pertahanan sendiri, saya sangat meragukan efeknya terhadap “Sea Dragon”.

    Like

    1. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas komentar yang telah dilayangkan Fauzan.

      Berikut jawaban saya:
      1. Memang benar bahwasanya anggaran pertahanan dalam APBNP 2016 meningkat. Saya sudah membaca sumber Fauzan dan tidak ada yang bertolak belakang sama sekali dengan sumber yang saya gunakan.

      “Gerak langkah Indonesia untuk hadir di LCS kemudian terbaca juga. Pasca insiden di Natuna tadi, Indonesia kemudian menambahkan suntikan dana sebesar 8,1 triliun rupiah pada APBN Perubahan untuk dialokasikan pada anggaran pertahanan (Diela, 2016). Keadaan sulit ini terpaksa dilakukan Indonesia meski anggaran tahun 2016 pada bidang pertahanan pertama kalinya dikurangi sejak lima tahun terakhir (Parameswaran, 2015)”

      Maksud dalam penjelasan di atas, sejak 5 tahun terakhir, anggaran pertahanan pada APBN tadinya ditingkatkan, namun pada tahun 2016 pertama kalinya diturunkan. Kemudian barulah ditingkatkan lagi pada APBNP 2015 setelah insiden Natuna.

      2. Memang secara umum awalnya Indonesia benar-benar tidak memiliki masalah dengan China setelah hal ini diklarifikasi Menlu Ali Alatas tahun 1995. Upaya Indonesia yang menolak menjadi negara pengklaim saya kira karena hal ini.

      http://dunia.news.viva.co.id/news/read/516396-wakil-dubes-china-pulau-natuna-milik-indonesia

      Sayangnya kenyataan di lapangan, sebagian ZEE Indonesia yang mana dianggap oleh China/nelayan China traditional fishing ground mereka. Memang sejatinya ZEE bukanlah bagian dari kedaulatan penuh suatu negara, namun ini tetap penting bagi kedaulatan ekonomi suatu negara dan telah diatur dalam UNCLOS.

      Upaya Indonesia untuk tetap tidak menjadi negara pengklaim setelah insiden-insiden yang terjadi menurut saya lebih sebagai langkah hati-hati Indonesia untuk menjaga hubungan diplomatik dengan China. Apabila Indonesia sampai memiliki ketegangan berarti dengan China, ini tentu dapat membahayakan kepentingan Indonesia, terutama dalam bidang diplomatik dan perdagangan (ekonomi) yang kini tengah berada pada puncaknya. Deterensi ekonomi Chinalah barangkali yang paling dikhawatirkan jika Indonesia menyatakan bahwa Indonesia langsung memiliki permasalahan dengan China.

      Faktor lain yang menjadi alasan sangkalan Indonesia larut pada konflik LCS (dan konflik-konflik lainnya) adalah Indonesia memposisikan sebagai bangsa yang netral (doktrin 1000 friends and zero enemy masih kuat dalam kebijakan luar negeri kita), untuk menjadi penengah pada konflik yang terjadi sehingga tidak akan menggangu stabilitas kawasan yang lagi-lagi dapat merugikan Indonesia itu sendiri. Akan tetapi sekali lagi, hirauan khusus pemerintah Indonesia di Natuna paling tidak menjadi simbol serta pesan kuat bahwa Indonesia tidak main-main dengan kedaulatan negara dan juga barangkali kebijakan poros maritim dunia.

      Singkatnya kira-kira begini: sebisa mungkin Indonesia tidak larut dalam konflik yang ada namun ketika Indonesia terlibat dalam konflik seperti itu, diharapkan upaya diplomatik, cara-cara yang resikonya minimal akan lebih dikedepankan, ketimbang harus berujung pada peperangan dan rusaknya hubungan antara Indonesia dengan negara lain.

      Like

Leave a comment